Penulis: Luki Leonaldo
Halaman.co.id |Depok – Menyedihkan! Baru diancam Iran akan menutup Selat Hormuz, Donald Trump langsung memilih gencatan senjata. Baru juga pangkalan militernya di Qatar dikirimi rudal, Trump “memaksakan” gencatan senjata. Dan baru juga Presiden Rusia Vladimir Putin akan membantu rakyat Iran, Trump memilih hentikan perang.
Ini perang dan “damai” yang dipaksakan. Israel menerima proposal gencatan senjata Amerika Serikat, dan dengan bangga mengaku “menang” lantaran tujuan perangnya sudah tercapai. Kemampuan nuklir dan rudal balistik Iran sudah “dihilangkan”. Ini pengakuan jujur atau bahasa diplomasi agar tidak kehilangan muka?
Fakta berbicara. Iran belum sepenuhnya mengeluarkan kemampuan inti rudalnya. Masih banyak rudal rudal canggih yang disimpan dan dielus elus. Mungkin sebagai “gong”. Atau juga untuk mengungkit daya tawar di meja perundingan. Berhari hari Israel mengaku menghancurkan peluncur rudal. Tapi kemampuan Iran tak berkurang. Rudal terus berjatuhan.
Soal nuklir lebih kocak lagi. Boleh saja Amerika membantu Israel mengebom situs nuklir Nathanz, Isfahan dan Fordow. Tapi Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat, Jenderal Dan Caine sendiri tidak menjamin. Apa sebab? Situs Fordow berada di kedalaman tanah sejauh 100 meter lebih. Sedang bom penghancur bunker Massive Ordnance Penetrator (MOP) yang dijatuhkan, hanya “ngurek” sedalam 61 meter sebelum meledak.
Citra satelit komersial memang menunjukan ada 6 lubang.Tapi soal kerusakan alat pengayaan uranium didalamnya, semua tidak bisa memastikan. Lebih konyol lagi, berdasar gambar citra satelit juga, dua hari sebelum di bom, ada 60 truk di situs Fordow, yang diduga mengamankan uranium tingkat tinggi. Membawanya ke tempat rahasia. Penasihat pemimpin tertinggi Iran,Ali Shamkhani, yang semula dikabarkan tewas kena rudal bahkan bilang, semua aman.
Jadi apa arti perang 12 hari yang dipaksakan?
Bagi Iran, ini justru semakin memotivasi untuk membuat hulu ledak nuklir. Karena, jawaban satu satunya untuk membungkam kesombongan Trump adalah memiliki senjata nuklir. Meski banyak pakar nuklirnya terbunuh, masih ada Rusia yang membantu. Mengganti kehilangan pakar nuklir di Iran juga semudah membalikan telapak tangan.
Bagi Iran pula, ini kesempatan untuk membasmi para pengkhianat yang terafiliasi dengan kelompok Munafiqin dan Mojahedin-e-Khalq Organization (MKO). Merekalah yang selama ini berkolaborasi dengan agen Mossad untuk membunuh tokoh tokoh penting Iran, sejak Ayatullah Khoemini naik “tahta” tahun 1979. Mereka juga yang menyerang Iran dari dalam, saat perang berkecamuk.
Dari perang ini, Iran juga bisa mendapat data dari keefektifan rudal rudalnya, terutama yang baru diterjunkan di medan laga seperti rudal Khaibar Shekan. Nama rudal ini merujuk pada perang Khaibar, dimana pasukan muslimin pimpinan Ali Bin Abi Thalib berhasil mengobrak abrik benteng Yahudi. Khaibar adalah tempat yang berjarak 160 km dari Madinah.
Bagi Iran, perang ini juga menunjukan mana “teman” sejati, mana “kawan” ilusi. Sudah jelas negara negara di semenajung Arab pendukung keras aliansi Israel-AS. Atau setidaknya, mereka diam seribu bahasa. Meski diakui, perlawanan Iran memang diluar dugaan.Negara yang puluhan tahun diembargo oleh Barat, tapi memiliki teknologi militer yang canggih dan berani melawan hegemoni AS (bandingkan dengan Indonesia).
Apakah layak jika Iran mengklaim memenangi perang 12 hari ini? Sangat layak. Pertama, menang kalahnya peperangan bukan diukur dari kerusakan dan tingkat kematian.Tapi siapa yang punya posisi tawar tinggi saat gencatan senjata. AS terbukti yang meminta gencatan senjata. Kedua, dengan kondisi ekonomi yang dilemahkan puluhan tahun, Iran terbukti bisa merepotkan Israel, yang disokong segala galanya oleh adidaya AS.
Sudah jelas ini perang AS -lewat Israel- yang ngebet Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Tapi bahkan Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev berani bilang, banyak negara yang mau mengirim hulu ledak nuklir, tanpa Iran repot repot membuat sendiri. Medvedev pula yang mengancam terjadi PD 3, saat Trump menghina Putin sebagai orang “gila”.
Dengan semua tujuan perang yang gagal -apalagi Iran sudah mengancam keluar dari perjanjian Non-Proliferasi Nuklir- potensi perang jilid berikutnya bakal terjadi. Selama AS dan sekutu abadinya Israel masih bercokol, Timur Tengah tidak akan damai. Selama itu pula, keduanya akan terus membenturkan kohesi Umat Islam -salah satunya dengan isu Suni-Syiah- sampai Amerika mampu “menguasai” Iran, sebagai satu satunya negara yang ogah tunduk pada Barat!