Penulis: Ariful Hakim
Halaman.co.id |Depok – Dunia menyaksikan perseteruan Donald Trump dan Elon Musk dengan dahi berkerut. Elon Musk menyumbang 4,7 Triliun untuk kampanye Trump.
Sukses jadi presiden AS, Musk kedapuk peran memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah Federal. Belakangan Trump malah mengeluarkan kebijakan yang merugikan bisnis Elon Musk. Raksasa teknologi ini akhirnya memilih out -resign dari jabatannya.
Awalnya, Trump memuji Musk sebagai jenius yang mengubah Amerika. Persahabatan mereka yang hancur, membuat Trump memaki Musk sebagai “orang gila”.
Tak kalah galak, Musk setuju kalau Trump harus dimakzulkan. Ia ingin mengubah “permainan” karena memiliki dokumen yang menyebut keterlibatan Trump dalam perkara kriminal.
Dulu, Amerika Serikat menghargai kepala Ahmed Al-Sharaa 165 miliar. Setelah kelompok Al-Sharaa berhasil menumbangkan Presiden Suriah Bashar al-Ashad, Trump memujinya sebagai pejuang tangguh. Anak muda pemberani.
Trump dan Al-Sharaa -kini presiden baru Suriah- bahkan berjabat tangan, ketika Trump melawat ke Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab, tempo hari.
Trump juga sempat memuji Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “sahabat baik”. Kala itu, ia sedang sibuk mendamaikan perang Rusia-Ukraina.
Trump akhirnya mengumpat Putin sebagai “orang gila”, lantaran perundingan damai tak kunjung membuahkan hasil. Umpatan ini dibalas Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, untuk mengobarkan perang dunia ketiga.
Hubungan Trump dengan Presiden China, Xi Jinping, juga turun naik. Trump kesal lantaran China terus melawan perang dagang yang ia kobarkan. Berbeda dengan Trump, Xi Jinping lebih memilih melawan dalam diam.
Dalam banyak kasus, retorika dan mulut ember Trump memang hanya “kalah” oleh pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayathollah Ali Khamaeni. Urat takut Khamaeni sudah putus.
Polah Trump semakin mempertegas adagium dalam politik; tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik; karena yang abadi adalah kepentingan. Demi kepentingan itu pula, Trump “seolah olah” memusuhi Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.
Setelah janji guyuran investasi dari Arab Saudi, Qatar dan UEA digaet, ia bahkan tidak mengindahkan permintaan langsung Emir Qatar, agar Trump menghentikan agresi Israel di Jalur Gaza.
Dalam skala yang lebih luas, tak hanya dukungan 90 ribu ton senjata yang sudah dikirim ke Israel, AS bahkan memveto resolusi PBB yang menyerukan penghentian perang di Gaza.
Trump, yang ingin menarasikan dirinya sebagai “Master Deal”, tak lebih dari politisi bermuka dua. Menjulurkan pujian setinggi gunung ketika “ada maunya”, untuk kemudian berkhianat ketika ” misinya” tergapai.
Trump mewakili sosok hampir seluruh Presiden Amerika Serikat di era modern. Dunia menyaksikan bagaimama Irak dan Afganistan dihancurkan. Suriah dilemahkan. Iran diblokade bertahun tahun, bahkan kini terus diancam diserang dengan alasan program nuklir Iran bisa menghasilkan hulu ledak nuklir, dll. Sejak kapan satu negara boleh ikut campur tangan urusan negara lain?
Sejatinya, saat Trump hampir mati tertembak ketika kampanye di Pennsylvania, ada pesan kuat yang bisa dicatat. Ini bukan soal membenarkan percobaan pembunuhan itu.
Pemimpin dengan jiwa labil seperti Trump amat berbahaya jika berkuasa; terbukti rakyat AS kini menyesal memilih Trump. Donald Trump memiliki peringkat persetujuan pekerjaan 100 hari terendah dibandingkan presiden AS mana pun dalam 80 tahun terakhir, menurut jajak pendapat ABC.
Baru baru ini Trump mengumumkan program Golden Globe -sistem pertahanan udara yang sanggup menangkis serangan rudal bahkan dari luar angkasa. Konon program ini dikebut, lantaran Trump takut serangan nuklir.
Aliansi pertahanan yang ditulangpunggungi AS, NATO, lewat sekjennya, Mark Rutte, juga mendaku NATO sebagai aliansi pertahanan paling kuat dalam sejarah dunia, bahkan melebihi Kekaisaran Romawi dan kekuatan Napoleon Bonaparte.
Hampir semua kekacauan perang diberbagai belahan dunia tak luput dari peran AS. Trump -seperti presiden AS sebelumnya- tak hanya punya andil di perang Ukraina dan Jalur Gaza, kini ia juga banyak “berperang” dengan mantan koleganya.
Pengalaman membuktikan, negara bangsa itu seperti “makhluk hidup”. Ia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian maju dan akhirnya “mati”; tinggal tercatat dalam bab buku sejarah. Runtuhnya kekaisaran Romawi dan Napoleon Bonaparte mengajarkan hal itu, dan celakanya Trump tidak belajar.
Dengan segala sepak terjang dan kepongahanmu, duhai Trump, sebetulnya ente mau kemane?
Quo Vadis Mr. Donald Trump? (bertanya dengan nada lemah gemulai).